Pemahaman
tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar tentang
budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan
dalam bidang antropologi. Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri,
konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Dewasa ini budaya
diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok
orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan
sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata
benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan
manusia. Sedangkan Colquitt, Lepine, dan Wesson mengatakan ”Organizational
Culture as the shared social knowledge within an organization regarding the
rules, norms, and values that shaps the attitudes and behaviors of its employee
(Budaya organisasi merupakan pengetahuan sosial organisasi yang berkaitan
dengan aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang mengukur sikap dan
perilaku para pegawai)(Colquit: 2009). Dari sini timbul pertanyaan, apa
sesungguhnya budaya itu?
Budaya
merupakan salah satu cara hidup bersama, cara khas manusia dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan alam dan merupakan strategi manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kata budaya (culture) mempunyai banyak arti, budaya
setiap orang berbeda dengan orang lain dan budaya akan sulit dijelaskan secara
konseptual dan definitif apabila diterapkan dalam organisasi. Dengan demikian
organisasi mencakup juga aspek-aspek budaya yang terwujud dalam bentuk
cerita-cerita, legenda bisnis yang berhasil, nilai-nilai, simbol-simbol yang bermakna
bagi setiap insan yang ada dalam organisasi itu.
Qazle
dalam khasanah kata atau istilah di dalam studi administrasi dan manajemen
sering ditemukan sejumlah istilah yang mirip dengan pengertian budaya. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:
- “Keteraturan
perilaku yang dapat diobservasi” (karena berulang-ulang secara tetap),
yaitu pada waktu orang saling berinteraksi, seperti halnya bahasa yang
digunakan dan ritual-ritual yang mengitari perilaku manusia.
- “Norma-norma”
yang berkembang secara bertahap dalam kelompok kerja, seperti yang telah
berkembang secara khas norma satu hari kerja bagi satu hari pembayaran
yang adil yang terdapat di Bank Wiring Room dalam studi Howtrone.
- “Nilai-nilai
dominan yang diambil” oleh suatu organisasi, misalkan kualitas produksi.
- “Filsafat”
yang membimbing kebijaksanaan organisasi dalam menghadapi pekerja dan
langganan mereka.
- “Aturan-aturan”
permainan yang lama digunakan di dalam organisasi selling berfungsi
sebagai “pengikat” di mana seorang pemula harus belajar dalam rangka dapat
menjadi anggota yang dapat diterima.
- “Perasaan
atau iklim” yang disampaikan di dalam suatu organisasi melalui tata ruang
fisik dan cara anggota-anggota berinteraksi dengan langganan mereka atau
pihak luar lainnya(Edgar H Schein : 2004).
Membicarakan
masalah budaya organisasi kita dapat mengutip pendapat George dan Jones yang
menyatakan bahwa variabel penting yang mempengaruhi kemajuan dan produktivitas
organisasi atau perusahaan, bukan pada faktor manajemen, fungsi-fungsi
penyelesaian tugas atau struktur organisasi, tetapi adalah pada aspek kultural
(Jennifer : 2005). Walaupun pada umumnya orang-orang di dalam sebuah organisasi
menyetujui bahwa organisasi mereka mempunyai budaya dan budaya organisasi atau
budaya perusahaan itu sangat penting, tetapi biasanya mereka akan menghadapi
kesulitan kalau diminta untuk mendefinisikan secara abstrak.
Gibson
mendefinisikan budaya organisasi sebagai apa yang dipahami oleh karyawan dan
bagaimana persepsi itu menciptakan sebuah pola dari keyakinan (beliefs), nilai
dan harapan (Gibson :2006). Pendapat senada dinyatakan oleh Hess dan Sililiano
bahwa budaya organisasi biasanya menggambarkan seperangkat keyakinan, norma dan
nilai bersama oleh anggota organisasi, kemudian keyakinan, norma dan nilai
tersebut berhubungan dengan cara kerja dan apa-apa yang penting dalam
organisasi(Peter Hess : 2006).
Berhubungan
dengan nilai, Moorehead dan Griffin menyatakan bahwa budaya organisasi adalah
seperangkat nilai yang membantu anggota organisasi mengetahui tindakan yang
dapat diterima dan tidak dapat diterima(Moorehead dan Griffin : 2009). Dari
beberapa definisi di atas dapat ditangkap bahwa didalam budaya organisasi
terkandung makna seperangkat nilai yang dianut bersama oleh anggota organisasi.
Kotter
dan Hasket menyatakan bahwa variabel panting yang mempengaruhi kemajuan dan
produktivitas organisasi atau perusahaan, bukan pada faktor manajemen,
fungsi-fungsi penyelesaian tugas atau struktur organisasi, tetapi adalah pada
aspek kultural (Kotter dan Hasket : 1992). Walaupun pada umumnya orang-orang di
dalam sebuah organisasi menyetujui bahwa organisasi mereka mempunyai budaya dan
Budaya Organisasi atau budaya perusahaan itu sangat penting, tetapi biasanya
mereka akan menghadapi kesulitan kalau diminta untuk mendefinisikan secara abstrak.
Hal senada sesuai dengan analisis Robbins yaitu karakteristik utama yang
menjadi pembeda Budaya Organisasi adalah: (1) Inisiatif individual; (2)
Toleransi terhadap tindakan berisiko; (3) Arah; (4) Integrasi; (5) Dukungan
dari manajemen; (6) Kontrol; (7) Identitas; (8) Sistem. imbalan; (9) Toleransi
terhadap konflik; dan (10) Pola-pola komunikasi (Robbin : 1998).
Menurut
Richard L. Daft, budaya dapat dianalisis pada tiga tingkat, yaitu : ( Richar L.
Daft : 2012)
- Artifak
(pakaian, pola perilaku, simbol fisik, upacara organisasi, tata letak
kantor).
Yaitu : semua hal yang dapat dilihat, didengar dan diamati seseorang dan penglihatan para anggota organisasi. - Nilai-nilai
Dilihat dari cara orang menjelaskan dan membenarkan apa yang diperbuat dapat diinterpretasikan dari kisah-kisah, bahasa dan symbol organisasi yang dapat digunakan para anggota untuk menggambarkan dirinya. - Asumsi-asumsi
dasar dan keyakinan
- Merupakan
inti dari budaya dan secara di bawah sadar membimbing perilaku dan
keputusan.
Sementara
itu Schein menjelaskan bahwa level budaya perusahaan dapat dianalisis dalam
tiga kategori, yaitu: (1) Artifacts, (2) Values, dan (3) Basic
Assumption (Svhein : 2004)
Artifacts, adalah refleksi dari budaya organisasi perusahaan yang berada pada level permukaan, dan mencakup semua fenomena yang bisa dilihat, didengar dan dirasakan. Termasuk dalam kelompok ini adalah produk (karya) kelompok, seperti desain teknologi, mitos dan sejarah perusahaan. Termasuk juga nilai-nilai yang muncul dalam komunitas, seperti acara-acara ritual dan seremonial. Walaupun pada level ini berbagai bentuk dari budaya perusahaan itu mudah dilihat dan dirasakan, tetapi kadang-kadang sulit untuk dapat dijelaskan secara sistematis.
Artifacts, adalah refleksi dari budaya organisasi perusahaan yang berada pada level permukaan, dan mencakup semua fenomena yang bisa dilihat, didengar dan dirasakan. Termasuk dalam kelompok ini adalah produk (karya) kelompok, seperti desain teknologi, mitos dan sejarah perusahaan. Termasuk juga nilai-nilai yang muncul dalam komunitas, seperti acara-acara ritual dan seremonial. Walaupun pada level ini berbagai bentuk dari budaya perusahaan itu mudah dilihat dan dirasakan, tetapi kadang-kadang sulit untuk dapat dijelaskan secara sistematis.
Values,
adalah nilai-nilai yang dikawinkan dan dibakukan sehingga solusi-solusi yang
muncul dari seorang .pemimpin atau individu yang berpengaruh di dalam
organisasi yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah organisasi
tersebut. Ketika suatu kelompok dihadapkan pada masalah-masalah atau isue-isue
penting organisasi, solusi yang pertama kali muncul biasanya datang dari
individu yang berpengaruh dalam kelompok itu. Ia akan menginterpretasikan,
mengasumsikan atau memberikan penilaian terhadap persoalan-persoalan yang
dihadapi perusahaan dan akan memberikan jalan keluar baik dalam pengetahuan,
sikap maupun tindakan yang harus dijalankan. Solusi-solusi ini akan berjalan
secara terus-menerus dan akan menjadi bagian dari budaya perusahaan.
Basic assumption adalah bagian dari budaya organisasi perusahaan yang
berada pada level yang paling dalam untuk menyelesaikan masalah yang sudah
berjalan secara berulang-ulang dan menjadi suatu nilai yang bersifat taken for
granted. Solusi-solusi tersebut telah menjadi suatu nilai yang sangat
diperlukan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan di dalam organisasi.
Secara nyata nilai-nilai ini diyakini kebenarannya dan menjadi bagian dari
budaya organisasi dan akhirnya berkembang menjadi budaya perusahaan.
Sementara
itu McNamara mendefinisikan budaya organisasi adalah sebagai berikut, organizational
culture is the Personality of the organization. Culture is comprised of the
assumptions, values, norms, and tangible signs (artifacts) of organization
members and their behavior (Mc Namara : 2009) .
Untuk
mempermudah definisi tentang budaya organisasi dapat dilihat langsung dalam 4
(empat) dimensi budaya, yaitu artifacts, perspectives, values, dan assumptions.
- Dimensi
Artifacts:
Merupakan benda-benda' temuan manusia. Kita dapat mengamati suatu budaya data artifact yang diciptakannya berupa kata-kata yang digunakan, tindakan-tindakan para anggota perusahaan dan objek-objek yang ada dalam perusahaan. - Dimensi
Perspectives:
Berbagai norma sosial dan peraturan yang mengatur bagaimana para anggota perusahaan harus berperilaku dalam situasi-situasi khusus. Dengan adanya berbagai peraturan dan norma tersebut para anggota perusahaan tidak perlu memecahkan permasalahan-permasalahan sosial organisasi secara baru setiap kali timbul permasalahan. - Dimensi
Values:
Mencerminkan falsafah atau misi organisasi, cita-cita organisasi, tujuan-tujuan, standar-standar . Para anggota perusahaan menggunakan nilai-nilai ini untuk menilai orang-orang, tindakan-tindakan serta keputusan-keputusan yang diambil atas nama perusahaan. - Dimensi
Assumptions:
Kepercayaan-kepercayaan para anggota perusahaan yang tidak diucapkan tentang mereka sendiri dan mengenai orang-orang lain, tentang hubungan mereka dengan orang-orang lain dan dengan organisasi, dan tentang sifat organisasi dan hubungan dengan dunia luar.
Budaya
organisasi meliputi garis-garis pedoman yang kukuh yang membentuk perilaku. la
melaksanakan beberapa fungsi penting dengan; a) Menyampaikan rasa identitas
untuk anggota-anggota organisasi. b) Memudahkan komitmen untuk suatu yang lebih
besar daripada diri sendiri. c) Meningkatkan stabilitas sistem sosial. d)
Menyediakan premises (pokok pendapat) yang diakui dan diterima untuk
pengambilan keputusan.
Definisi
ini menunjukkan bahwa kebudayaan itu melaksanakan fungsi-fungsi penting dalam
organisasi. Budaya organisasi yang kuat sangat berpengaruh terhadap kinerja
karyawan dibanding budaya organisasi yang lemah. Semakin para karyawan menerima
nilai-nilai utama organisasi dan semakin terlibat mereka dalam nilai-nilai itu,
semakin kuatlah budaya organisasi.
Budaya
organisasi itu kuat atau lemah diantaranya tergantung pada faktor-faktor
seperti ukuran organisasi itu, berapa lama organisasi itu telah berdiri, berapa
banyak angka pergantian di antara karyawan, dan intensitas asal mula budaya
tersebut. Dalam organisasi-organisasi tertentu, tidaklah jelas apa yang penting
dan apa yang tidak-suatu ciri budaya lemah. Dalam organisasi-organisasi seperti
itu, budaya kiranya kurang mempengaruhi para manajer. Namun, kebanyakan
organisasi memiliki budaya yang moderat hingga kuat. Relatif terdapat
kesepakatan yang besar mengenai apa yang penting, apa yang menentukan tingkah
laku karyawan yang “baik”, apa yang dibutuhkan untuk naik pangkat, dan
sebagainya. Dalam kenyataannya, salah satu kajian budaya organisasi menemukan
bahwa para karyawan di perusahaan-perusahaan yang budayanya kuat lebih terlibat
dengan perusahaan mereka daripada karyawan-karyawan di perusahaan-perusahaan
yang budayanya lemah. Perusahaan-perusahaan dengan budaya organisasi yang kuat
biasanya menggunakan usaha-usaha perekrutan dan praktek-praktek sosialisasi
untuk membina keterlibatan karyawan.
Hal
senada juga ditelaah oleh Kolb, Osland dan Rubin, mereka menyatakan bahwa
budaya organisasi adalah model asumsi-asumsi dasar yang memberikan kelompok
yang mengungkapkan dan menemukan atau mengembangkan didalam pengajaran untuk
mengatasi masalah-masalah penyesuaian ke luar (external adaptation) dan
integrasi ke dalam (internal integration) dan bekerja dengan cukup baik
sebagai pertimbangan yang sah, serta untuk mengajarkan kepada anggota-anggota
baru sebagai cara yang benar untuk mengatasi, memikirkan dan merasakan dalam
hubungannya dengan masalah-masalah tersebut(Kolb : 2005).
Dengan
kata lain budaya organisasi menyangkut nilai-nilai seperti agresif atau
defensif, atau kebersamaan sehingga mengubah tantangan menjadi peluang atau
menghadirkan yang terbaik. Budaya yang berkembang dan dikembangkan di
lingkungan suatu organisasi yang kemudian diistilahkan sebagai budaya
organisasi, meletakkan dasar bagi suatu pola menyangkut langkah-langkah yang
diteladankan oleh para manajer, yang kemudian menurun kepada para penyelia
hingga eselon terbawah (eselon IV) secara vertikal dan berkembang secara
terus-menerus secara horisontal dalam kurun waktu tertentu.
Organisasi
yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir
semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha
organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat.
Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh
bossnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi. Gaya dan nilai dari suatu
budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah mendalam,
walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat,
karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai
dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja,
rasa komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi. Dalam
budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus
bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya
motivasi dan inovasi.
Budaya
yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus
menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja
organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi,
sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang
dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau
strategi usahanya.
Budaya
yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu
organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan
diasosiasikan dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann
menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang
bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan
individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk
mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat
berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama.
Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah
secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui.
Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia
hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif
terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya
ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah
organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya
mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan
yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation
dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang
jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.
Suatu
budaya organisasi dapat menjadi kekuatan utama jika hadir secara konsisten
timbal-balik dengan strategi organisasi yang ditempuh. Budaya organisasi yang
kuat dapat menjadi pegangan yang mantap untuk, setiap pegawai yang bekerja di
dalamnya dari lapisan teratas hingga lapisan terbawah. Budaya organisasi yang
dijalankan oleh semua jajaran pegawai secara konsekuen dan konsisten,, dapat
menciptakan kehidupan berorganisasi yang terbuka; pegawai bebas mengungkapkan
pikiran dan perasaannya dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
manajerial. Budaya organisasi yang kuat dapat menciptakan rasa persatuan dan
kesatuan jajaran pegawai dalam mewujudkan profesionalisme. Singkatnya budaya
organisasi dapat menentukan dan mengarahkan sikap dan perilaku pegawai dalam
melakukan tugasnya sehari-hari dan menciptakan suasana kerja yang menyenangkan
hati, sehingga pegawai dapat bekerja lebih hemat dan produktif. Karena
produktivitas yang merupakan fungsi dari tersedianya tenaga, teknologi, alat,
dan dana, juga sangat dipengaruhi oleh semangat manusia yang melakukan tugas
pekerjaan.
Stephen
P. Robbins mengembangkan dimensi organisasi yang dapat dijadikan panduan dalam
penelitian adalah sebagai berikut;
- Inovasi
dan pengambilan resiko. Artinya sejauhmana para anggota didorong agar inovatif
dan siap mengambil resiko
- Perhatian
terhadap detail, maksudnya sejauhmana para anggota diharapkan
memperlihatkan presisi, analisis, dan perhatian terhadap detail
- Orientasi
hasil dimaksudkan sejauhmana manajemen memusatkan perhatian pada hasil
bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu
- Orientasi
orang diartikan sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan dampak
hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu
- Orientasi
tim merujuk pada sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar tim,
bukannya berdasarkan individu
- Keagresifan,
tidak lain sejauhmana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya
santai-santai
- Kemantapan,
artinya sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status
quo bukannya pertumbuhan.
Dari
uraian di atas, maka sintesis budaya organisasi adalah penilaian pegawai
tentang nilai-nilai, norma, filosofi dan peraturan yang berlaku yang ada dalam
kelompok pada lembaga untuk melaksanakan pekerjaan yang telah ditetapkan dalam
upaya mendapat keberhasilan bersama. Adapun dimensi yang digunakan untuk
mengukur budaya organisasi adalah 1) inovasi dan pengambilan resiko, dengan
indikator kreativitas dan menciptakan suasana kerja, 2) perhatian terhadap
detail, dengan indikator menyelesaikan tugas, melaporkan tugas, dan
mengevaluasi pekerjaan, 3) orientasi hasil, yang meliputi pembagian hasil dan
penguasaan bidang kerja, 4) orientasi orang, dengan indikator jenjang karier
dan pengakuan keberadaan karyawan, 5) orientasi tim, dengan indikator kerjasama
dengan orang lain dan tercapainya tujuan bersama, 6) keagresifan, dengan
indikator persaingan kerja dan semangat kerja, dan 7) kemantapan, dengan
indikator tanggungjawab terhadap pekerjaan dan kenyamanan dalam bekerja.
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/418-artikel-soft-competency/20267-budaya-organisasi